Masalah Mahram
Imam an-Nawawi memberi batasan dalam sebuah definisi mahram berikut,
?? ?? ??? ?????? ??? ??????? ???? ???? ???????
Setiap wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram. (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 9:105)
Kemudian beliau memberikan keterangan untuk definisi yang beliau sampaikan:
- Haram untuk dinikahi selamanya : Artinya ada wanita yang haram dinikahi, namun tidak selamanya. Seperti adik istri atau bibi istri. Mereka tidak boleh dinikahi, tetapi tidak selamanya. Karena jika istri meninggal atau dicerai, suami boleh menikahi adiknya atau bibinya.
- Disebabkan sesuatu yang mubah : Artinya ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang tidak mubah. Seperti ibu wanita yang pernah disetubuhi karena dikira istrinya, atau karena pernikahan syubhat. Ibu wanita ini haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan mahram. Karena menyetubuhi wanita yang bukan istrinya, karena ketidaktahuan bukanlah perbuatan yang mubah.
- Karena statusnya yang haram : Karena ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan karena statusnya yang haram tetapi sebagai hukuman. Misalnya, wanita yang melakukan mula�anah dengan suaminya. Setelah saling melaknat diri sendiri karena masalah tuduhan selingkuh, selanjutnya pasangan suami-istri ini dipisahkan selamanya. Meskipun keduanya tidak boleh nikah lagi, namun lelaki mantan suaminya bukanlah mahram bagi si wanita.
Adapun wanita yang tidak boleh dinikahi karena selamanya ada 18 orang ditambah karena faktor persusuan. Tujuh diantaranya, menjadi mahram karena hubungan nasab, dan empat sisanya menjadi mahram karena hubungan pernikahan.
Pertama, tujuh wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan nasab/keturunan:
- Ibu, nenek, buyut perempuan dan seterusnya ke atas.
- Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.
- Saudara perempuan, baik saudari kandung, sebapak, atau seibu.
- Keponakan perempuan dari saudara perempuan dan keturunannya ke bawah.
- Keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan keturunannya ke bawah.
- Bibi dari jalur bapak (�ammaat).
- Bibi dari jalur ibu (Khalaat).
Kedua, empat wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan pernikahan:
- Ibu istri (ibu mertua), nenek istri dan seterusnya ke atas, meskipun hanya dengan akad
- Anak perempuan istri (anak tiri), jika si lelaki telah melakukan hubungan dengan ibunya
- Istri bapak (ibu tiri), istri kakek (nenek tiri), dan seterusnya ke atas
- Istri anak (menantu perempuan), istri cucu, dan seterusnya kebawah.
Demikian pula karena sebab persusuan ada tujuh seperti urutan mahram yang disebabkan keturunan, bisa menjadikan mahram sebagaimana nasab. (Taisirul �Alam, Syarh Umdatul Ahkam, hal. 569)
Catatan untuk saudara ipar apakah mahram (muhrim):
Saudara ipar bukan termasuk mahram. bahkan Nabi shallallahu �alaihi wa sallam mengingatkan agar berhati-hati dalam melakukan pergaunlan bersama ipar. Dalilnya: Ada seorang sahabat yang bertanya, �Ya Rasulullah, bagaimana hukum kakak ipar?�
Nabi shallallahu �alaihi wa sallam bersabda, �Saudara ipar adalah kematian.� (HR. Bukhari dan Muslim).
Maksud hadis: Interaksi dengan kakak ipar bisa menjadi sebab timbulnya maksiat dan kehancuran. Karena orang bermudah-mudah untuk bebas bergaul dengan iparnya, tanpa ada pengingkaran dari orang lain. Sehingga interaksinya lebih membahayakan daripada berinteraksi dengan orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga. Kondisi semacam ini akan memudahkan mereka untuk terjerumus ke dalam zina.
bahwa suami-istri telah menjadi mahram setelah pernikahan. Persepsi ini tidak benar, karena jika keduanya telah menjadi mahram, maka pernikahan itu sendiri tidak sah, karena di antara syarat sahnya nikah, tidak terjadi antar sesama mahram.
Begitu pula, antara bapak atau ibu kandung dan bapak atau ibu mertua tidak terjalin ikatan mahram, sehingga persentuhan kulit antara mereka juga dapat membatalkan wudhu.
Dalam perbesanan [al-mush'harah], ikatan mahram hanya terjalin antara person-person berikut:
Istri-istri para orang tua [bapak dan kakek dari bapak atau dari ibu]. Seorang anak dapat bersentuhan dengan istri-istri bapak [ibu tiri] tanpa batal wudhunya. [QS. An-Nis?�' 4:22]
Istri-istri anak keturunan [anak, cucu dan cicit]. Bapak mertua dapat bersentuhan dengan menantunya tanpa batal wudhunya. [QS. An-Nis?�' 4:23].
Para orang tua istri [ibu mertua atau nenek mertua]. Seorang suami dapat bersentuhan dengan ibu mertua atau nenek mertua, baik nenek dari bapak atau dari ibu, tanpa batal wudhunya. [QS. An-Nis?�' 4:23].
Keturunan istri [anak tiri atau cucu tiri]. Seorang suami dapat bersentuhan dengan anak istrinya dari suami yang lain. [QS. An-Nisa ?�' 4:23]
Kutipan surat An-Nisa ?�' 4:22-23:
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh)". (QS. 4:22)
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);,dan menghimpunkan (dalam perkawinan)dua perempuan yang bersaudara,kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. 4:23)
Wallahu a`lam.
0 komentar:
Posting Komentar